Kisah Fatma, Guru SD di Rimba Hutan Pinus Banyuwangi

Kisah Fatma, Guru SD di Rimba Hutan Pinus Banyuwangi
Kisah Fatma, Guru SD di Rimba Hutan Pinus Banyuwangi

Berita Banyuwangi - Fatmawati Nadlirah yang biasa disapa Fatma, perempuan berusia 27 tahun itu mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di daerah pinggiran. Dia menjadi guru SD di sebuah perkampungan kecil di tengah rimba pinus.

Mengutip dari banyuwangikab.go.id, untuk bisa menjangkau kampung tersebut bukan hal yang mudah.

Dari perkampungan Dusun Sumberurip, Barurejo, Kecamatan Siliragung yang secara administratif menaungi kampung tersebut, masih terbentang jarak sejauh 12 kilometer dan harus melewati hutan pinusterlebih dahulu.

"Jangan berharap ada sinyal telekomunikasi di sini. Akses kesana memang penuh tantangan, kita harus melewati hutan pinus dulu untuk sampai ke sana," ujar Fatma.

Kampung tersebut berada di bawah kawasan Perhutani yang memiliki regulasi khusus, seperti tak boleh ada pembangunan fisik secara masif. Oleh karena itu, bukan pembangunan fisik yang Pemerinta Kabupaten Banyuwangi lakukan.

Bupati Banyuwangi melakukan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dijalankan oleh Pemkab Banyuwangi. Melalui program Banyuwangi Mengajar itu, pemerintah mengirimkan sarjana-sarjana terbaiknya untuk mengabdikan diri, mengajar, dan memberi motivasi kepada anak-anak di desa-desa terpencil itu.

Fatma yang merupakan lulusan Insitut Agama Islam Ibrahimy Banyuwangi itu telah mengabdikan diri lebih dari dua tahun di kampung itu. Ia ditempatkan untuk mengajar di SD Negeri 8 Barurejo.

Tak seperti peserta Banyuwangi Mengajar yang lain yang bisa tinggal di rumah warga yang cukup layak, di kampung tersebut tidak boleh ada bangunan permanen karena semuanya aset Perhutani. Warga di sana hanya boleh membangun rumah dari bilah-bilah kayu dengan beralaskan semen.

Awalnya, Fatma sempat ditawari untuk tinggal di rumah kepala desa. Namun, dia menolak lantaran tidak tinggal di kampung tempat ia mengajar. "Rumah kepala desa cukup jauh dari kampung tempat saya mengajar. Padahal, konsep Banyuwangi Mengajar kan pengajarnya harus tinggal di lokasi agar bisa terus bertemu warga dan anak didik. Jadi saya menolak tinggal di rumah kepala desa," ujarnya.

Akhirnya, Fatma berinisiatif untuk tinggal di gedung sekolah. Ia menempati sebuah ruang 3 X 4 meter yang juga dijadikan Perpustakaan. Semua kesulitan tersebut tak mengendurkan semangat gadis berjilbab tersebut, hal yang membuatnya bertahan untuk terus mengabdikan diri di kampung tersebut adalah adalah dorongan untuk bisa memotivasi akan pentingnya pendidikan.

"Awal saya datang, semangat anak-anak disini untuk mendapat pendidikan sangat rendah. Hal ini yang membuat saya tetap bertahan," tuturnya.

Fatma pun bertahan untuk terus mengajar dengan segala keterbatasan yang ada. Kegigihan itu tak terlepas dari motivasinya saat pertama kali memutuskan mengikuti program Banyuwangi Mengajar tersebut. Ia terdorong panggilan jiwa untuk ikut terlibat dalam proses mencerdaskan anak bangsa.

"Niat awalnya, ya bismillah, saya ingin memanfaatkan ilmu saya untuk ikut mencerdaskan anak-anak," tuturnya.

Banyuwangi Mengajar yang digagas Pemkab Banyuwangi merupakan sebuah gerakan yang mengajak lulusan perguruan tinggi untuk mengabdikan ilmunya kepada anak-anak pedesaan, khususnya di desa terpencil.

Meski fasilitas terbatas, para anak muda ini justru ditantang untuk bisa mengamalkan ilmunya di daerah terpencil. Banyuwangi Mengajar ini telah diikuti 50 pengajar muda.

Mereka yang mayoritas mahasiswa asal Banywuangi ini ditempatkan di seluruh desa pelosok. Pemkab Banyuwangi menyediakan honor Rp2 juta per bulan untuk mereka.

"Tahun ini kami rekrut lagi 20 fresh graduate untuk disebar lagi ke berbagai desa," ujar Kepala Dinas Pendidikan Sulihtiyono.

(AK/AK)

sumber:https://www.otonomi.co.id

0 Response to "Kisah Fatma, Guru SD di Rimba Hutan Pinus Banyuwangi"

Posting Komentar