Kulsum Perajin Batik Tradisional

kulsum perajin batik


Seperti rumah-rumah lain di Jalan Bogowonto, Kelurahan Temenggungan, rumah milik Kulsum, 80, terlihat sepi. Seperti tidak ada tanda aktivitas di bangunan semi permanen yang dicat putih hijau tersebut. Dari samping halaman rumah tersebut, seseorang menyembulkan kepala dari balik kain warna putih yang terbentang dihadapannya.

Tidak disangka, wanita yang seluruh rambutnya sudah memutih tersebut masih bisa mendengar dengan jelas bahkan bersuara dengan sangat nyaring ketika mempersilakan Jawa Pos Radar Banyuwangi masuk ke rumahnya. Kulsum sedang membatik.

Dengan cekatan ia menorehkan malam cair ke sehelai kain yang telah digambari pola. Hari ini dia membuat batik paras gempal. Sesuai permintaan pelanggan. “Ini namanya ngereng-reng,” ucap ibu empat anak tersebut. Hampir setiap hari selama 60 puluh tahun Kulsum yang biasa dipanggil Mbok Sum oleh tetangga sekitar rumahnya itu selalu membatik di halaman samping rumahnya.

Mulai pagi hari sekitar pukul 07.00 hingga pukul 15.00. Di halaman samping rumahnya yang terbilang sempit tersebut, terdapat dua penggawangan, satu meja panjang dengan tinggi selutut orang dewasa, bengahan (tungku dari batu bata), dan tumpukan kayu bakar.

Tadinya, Kulsum selalu membatik di dalam rumah. Namun, karena daya penglihatannya semakin berkurang, dia memindah peralatan batiknya ke halaman samping rumahnya. “Wah, dulu membatik di dalam rumah. saya bisa mengerjakan batik dari pagi hingga malam.

Sekarang di sini hanya bisa bekerja dari pagi hingga sore,” ceritanya. Sejak puluhan tahun lalu, tepatnya sejak zaman penjajahan dimulai, Kulsum sudah belajar membatik. Wanita yang tidak pernah ingat dengan tanggal dan usia itu diajari membatik oleh ibunya saat dia putus sekolah kelas 5 SD.

“Disuruh berhenti sekolah ya manut. Waktu itu saya sudah dianggap cukup umur untuk membantu ekonomi keluarga dengan membatik,” ceritanya. Keluarga Kulsum pada waktu itu bisa dibilang keluarga pembatik. Nenek-buyutnya juga pembatik tradisional.

“Sama ibu ilmunya diwariskan ke anaknya, tapi yang mau hanya saya,” ungkap anak ke 11 dari 12 bersaudara itu. Ia bisa membuat batik dengan beragam corak khas Banyuwangi, diantaranya batik Gajah Oleng, Paras Gempal, Kangkung Setingkes, Moto Pitik, dan masih banyak lagi.

Sejak dulu hingga sekarang, Kulsum konsisten menggunakan teknik batik tulis. Menurutnya, dengan menggunakan teknik manual tersebut, kelestarian batik sebagai corak pakaian tradisional tetap terjaga. Warna batik andalannya adalah hijau putih dan cokelat.

Namun, seiring berkembangnya zaman, ia berani menggunakan warna-warna lain. Hal yang tidak pernah berubah hingga hari ini, Kulsum masih bertahan mengolah bahan batik dengan tungku tradisional. Alasannya, ia sangat takut menggunakan kompor otomatis. “Takut meledak.

Seperti yang sering terlihat di televisi,” ujarnya. Dulu ketika masih muda ia bisa mengerjakan seluruh proses pembuatan batik sendirian, mulai menggambar pola hingga mewarnai kain. Menyadari usianya mulai renta, ia meminta dua keponakannya membantunya ndemplok.

Batik yang diproduksi Kulsum banyak dipesan masyarakat Desa Kemiren. Beberapa tetangga yang merantau di Kalimantan dan Jakarta juga selalu memburu batik buatannya setiap pulang kampung. “Sebagian besar batik produksi saya ditampung salah satu pengusaha batik di lingkungan sini (Temenggungan),” katanya.

Rata-rata per bulan dia bisa memproduksi 20 lembar kainbatik. Satu lembar batik ia hargai Rp 275 hingga Rp 300 ribu. Dari usahanya tersebut, Kulsum bisa menghidupi keempat anaknya sejak ditinggal mati suaminya. Bahkan, hingga kini sesekali ia membantu keuangan cucunya yang masih mengenyam pendidikan.

“Cucu yang kuliah kalau kekurangan biaya bisa minta tambahan ke saya,”katanya. Beberapa puluh tahun silam Kulsum pernah hampir putus asa karena tidak menemukan penerus usaha kecilnya. Dari empat anaknya tidak ada yang menunjukkan ketertarikan dengan batik.

“Memang membatik itu tidak bisa sembarangan. Yang utama harus sabar dantelaten,” ujarnya. Namun seiring berjalannya waktu, salah seorang cucunya yang bernama Rahayu menunjukkan bakat membatik seperti dirinya. Ia pun dengan sabar membimbing Rahayu agar pandai membatik dengan cara tradisional.

Kini Rahayu memiliki usahanya sendiri di Kelurahan Lateng. Kulsum bercerita, sebenarnya kekhawatirannya tidak hanya sebatas mengenai penerus usahanya. Namun, juga terhadap pudarnya skill membatik pada generasi muda.

Ia pernah membagi ilmunya kepada tetangga sekitarnya, tapi banyak yang tidak serius. “Banyak yang tidak betah. Syarat bisa membatik selain bakat dan kemauan adalah telaten dan sabar,” ungkapnya. Dengan senang hati Kulsum menerima siapa saja yang ingin belajar membatik dengan serius.

Ia beberapa kali mendapat kunjungan berbagai kalangan yang ingin belajar atau sekadar melihatnya membatik. Namun, ia sengaja menolak kunjungan dari beberapa sekolah. “Pengalaman yang dulu, mereka ke sini hanya untuk mendapatkan nilai dari gurunya. Bukan untuk mempelajari batik dengan sungguh-sungguh,” tandasnya. (radar)

0 Response to "Kulsum Perajin Batik Tradisional"

Posting Komentar